Dalam penghitungan harga BBM di luar Jawa, Madura, dan Bali biasanya digunakan rumusan harga patokan ditambah ongkos distribusi dan keuntungan. Rumus itulah yang menyebabkan adanya disparitas harga antarsatu wilayah dibanding wilayah lainnya.
Wilayah-wilayah terjauh dan tentu saja paling terpencil dan miskin justru harus membayar harga BBM jauh lebih mahal dibanding penduduk di wilayah Jawa, Madura, dan Bali. Padahal jika menggunakan ukuran kemampuan daya beli, penduduk di wilayah terpencil justru memiliki daya beli yang lebih rendah dibanding penduduk Jawa.
Coba bandingkan antara Jawa dan Papua. Pulau Jawa yang luasnya 128.297 km persegi memiliki 58% total kapasitas kilang Indonesia tersebar di 3 tempat, yaitu Kilang Balongan di Indramayu, Kilang Cilacap, dan Kilang Cepu, sehingga ongkos distribusi di Pulau Jawa, baik itu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur relatif kecil.
Sedangkan Pulau Papua yang luasnya 459.412 km persegi hanya memiliki Kilang Kasim yang hanya memproduksi 1% dari total kapasitas kilang di Indonesia. Itupun letaknya Kabupaten Sorong di bagian kepala burung pulau ini saja. Bayangkan, jika BBM ingin disalurkan ke Kabupaten Yahukimo yang berjarak 1000 km via jalan darat. Atau melalui Kapal Perintis yang seringkali terganggu akibat surutnya Sungai Brasa. Hal itu menyebabkan harga bensin mencapai Rp100.000 per liter.
Wilayah Yahukimo memang menjadi titik dimulainya kebijakan BBM satu harga. Pertamina sebagai BUMN yang ditugaskan menjalankan program ini berusaha memenuhi dengan membangun titik distribusi di berbagai wilayah terpencil. Sampai akhir 2019, direncanakan akan dibangun 150 titik di seluruh Indonesia. Sepanjang 2017 ditargetkan mampu mencakup 54 titik lokasi. Sisanya, sebanyak 50 titik akan dibangun pada 2018 dan 46 titik lainnya pada 2019. Setiap titik bisa berbentuk SPBU maupun APMS.
Pemerintah memang mengambil jalan untuk tidak langsung membadi APBN dalam menjalankan program BBM satu harga. Beban biaya diserahkan kepada Pertamina sebagai BUMN yang mengurusi soal BBM. Pada 2017 misalnya, BUMN tersebut menganggarkan Rp1 triliun untuk program BBM satu harga. Seturut pada keuntungan Pertamina tahun lalu Rp40 triliun, setidaknya biaya tersebut diperkirakan tidak akan memberatkan kantong Pertamina.
Program BBM Satu Harga dilaksanakan berlandaskan pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, juga Peraturan Menteri ESDM No. 39 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pemberlakuan Satu Harga Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan Secara Nasional.
https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/Infografis%20BBM%20Satu%20Harga%20FINAL.png" style="height:768px; width:1024px" />